Pengamat: Pencalonan Gibran Tidak Hanya Masalah Legitimasi Hukum, Tapi Juga Cacat Legalitas

Pengamat: Pencalonan Gibran Tidak Hanya Masalah Legitimasi Hukum, Tapi Juga Cacat Legalitas

ASKARA – Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, pasangan Prabowo-Gibran akan merugi karena tidak memiliki legitimasi dalam pencalonan mereka. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi landasan kandidasi Putra Sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka juga cacat legalitas.

Bivitri yang juga Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini menambahkan, pencalonan Gibran telah mengobrak-abrik konstitusi, mencederai hukum, pun sudah terbukti melanggar etik berat.

“Sudah ada masalah dalam legitimasi pencalonan Gibran, karena ada masalah etik yang sudah terbukti di MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi). Ini kan konstitusi dimainkan untuk politik,” jelas Bivitri dalam podcast yang dipandu Mantan Ketua KPK Abraham Samad.

Bivitri menjelaskan, putusan MK atas perkara Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 cacat secara legalitas.
Pasalnya, kata Bivitri, putusan itu menabrak Undang Undang Kehakiman Pasal 17 yang menerangkan hakim yang punya benturan kepentingan terhadap perkara, dalam kasus ini yaitu Gibran Rakabuming, hakim harus mundur. Ayat berikutnya, jika hakim tidak mundur, maka putusan batal.

Namun kenyataannya, tutur Bivitri, Hakim Anwar Usman tidak mundur, Gibran tetap melenggang dan ditetapkan KPU sebagai Cawapres. Itu menunjukkan karakter yang sebenarnya.

“Kita lihat konteks besar, ada seseorang yang mau maju, ada hukum menghalangi. Normalnya kalau kita taat hukum, peduli pada hukum, tunggu sajalah, tapi ini tidak.Malah hukumnya yang diganti dengan menggunakan kekuasaan, itu yang terjadi di negara hukum kita,” ungkap Bivitri kecewa.

Lebih lanjut pasca ditetapkannya pasangan Capres-Cawapres oleh KPU kemarin, Bivitri mengajak pemilih untuk melihat logika moral dari para calon.

“Pegangan kita adalah kompas moral kita. Kok bisa ada intelektual melihat suatu kesalahan tapi diam saja. Ini pertanda bahwa demokrasi kita sidah di ambang bahaya,” tukas Bivitri.

“Dan karena itu legitimasi ini sesuatu yang sangat penting, ini kan pilpres dan kedepannya pasti akan mengganggu proses. Sebenarnya buruk untuk mereka, kalau menurut saya, orang Indonesia, semuanya bernalar, kita enggak bodoh-bodoh juga, kita bisa melihat dengan kasat mata bahwa ada benturan kepentingan, ada masalah, sehingga sebenarnya legitimasinya cacat,” tutup Bivitri Susanti.

Tanpa Dua Legitimasi

Sementara itu, Dosen Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menyoroti pencalonan Gibran yang meskipun dianggap memenuhi syarat pencalonan berdasarkan keputusan MK, kendati putusan tersebut diwarnai pelanggaran etik berat.

“Proses-proses ini yang kemudian bicara moralitas. Dalam konteks ini, Gibran secara hukum menurut putusan MK, legal. Tapi secara proses dianggap bermasalah, cacat,” ujar Nyarwi.

Ketiga, adalah legitimasi elektoral. Nyarwi menyebut legitimasi itu disandarkan pada tingkat keterpilihan.

Menurut Nyarwi, kalaupun nanti Gibran memenangi pertarungan, maka hanya ada legitimasi elektoral.

“Legitimasi ketiga dari pemilu. Seberapa besar pemilih melihat krisis moralitas itu? Kalau nanti seandainya terpilih, ya bearti dia mendapatkan legitimasi politik, tetapi itu hanya legitimasi elektoral,” tambah Nyarwi.

Karena itu, Nyarwi menekankan pemimpin harus mendapatkan legitimasi komprehensif untuk menjamin kehidupan demokrasi yang lebih baik.

“Seorang pemimpin mendapatkan legitimasi politik itu harus komprehensif. Masyarakat juga harus paham,” pungkas Nyarwi Ahmad.

Editor: Husnie