ASKARA – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto berulang kali menyatakan adanya tekanan atau intervensi terhadap pendukung Ganjar Pranowo–Mahfud MD. Tekanan itu menurut Hasto melalui instrumen hukum dan instrumen kekuasaan.
Kalau yang dikatakan Hasto itu benar, berarti di negeri ini sudah tidak ada demokrasi. Sebab, dalam demokrasi hukum menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau instrumen hukum sudah digunakan untuk membungkam anak bangsa, berarti hukum sudah mati di negeri ini. Konsekuensinya, demokrasi juga dengan sendirinya tak berjalan di Indonesia.
Demikian disampaikan Pakar Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga kepada para awak media, Senin (20/11).
Begitu juga halnya bila instrumen kekuasaan digunakan, lanjut Jamiluddin, hal itu memperkuat matinya demokrasi di tanah air. “Sebab, instrumen kekuasaan hanya digunakan di negara-negara otoriter,” jelas Dosen Metodologi Penelitian Komunikasi Fikom Universitas Esa Unggul, Jakarta ini.
Nyatanya, tutur Jamiluddin, anak bangsa hingga saat ini tetap bebas berpendapat. “Di media konvensional dan media sosial, silang pendapat terus bergema,” ujar Jamiluddin.
Jamiluddin menilai, hukum kadang kala memang belum berjalan sebagai mestinya. “Hukum belum semuanya berpihak kepada pencari keadilan,” tegas Dekan Fikom IISIP, Jakarta 1996-1999 ini.
Namun, ujar Jamiluddin, kekurangan itu tidak dengan sendirinya mematikan demokrasi di tanah air. “Demokrasi masih berjalan dengan baik, walaupun ada saja kerikil yang mengganjalnya,” ungkap Jamiluddin.
Karena itu, imbau Jamiluddin, Hasto seyogyanya tidak terlalu cengeng bila ada tekanan atau intervensi. “Sebab, tekanan atau intervensi memang kerap muncul dalam politik. Hal itu akan terjadi di internal dan eksternal partai,” terang Jamiluddin.
“Hasto tentu tahu hal itu, bahkan tak menutup kemungkinan Hasto juga melakukan hal yang sama di internal partainya,” sambung Penulis Buku Riset Kehumasan ini.
Karena itu, saran Jamiluddin, Hasto tak perlu menggunakan tekanan atau intervensi itu dengan nyinyir di media. “Hasto juga tak perlu mencari teman senasib dengan seolah sudah berkomunikasi ke kubu Anies Baswedan–Muhaimin Iskansar (Imin),” tukas Jamiluddin.
Menurut Jamiluddin, cara seperti itu mengindikasikan Hasto terkesan sosok yang lemah. “Hal itu tak seharusnya ditunjukkan oleh petinggi partai yang berlabel perjuangan,” imbuh mantan Sekjen Media Watch ini.
Jamiluddin menyarankan Hasto untuk tegar dengan segala tekanan atau intervensi. “Hasto harus belajar dengan Megawati Soekarnoputri yang tetap kuat meskipun berbagai badai menghantamnya. Sejarah telah membuktikan hal itu,” pungkas Jamiluddin Ritonga.