Penguasa Kooptasi Demokrasi Menurut LBH

Penguasa Kooptasi Demokrasi Menurut LBH

ASKARA – Direktur LBH Jakarta Arief Maulana mengatakan, demokrasi yang dijalankan hari ini sangat jauh dari kata ideal dan cenderung digunakan penguasa untuk mencapai tujuannya. 

“Dalam sebuah negara demokrasi, kebebasan berpendapat juga berbicara dari rakyat sangat penting. Karena prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Dia berhak bicara agar kepentingannya didengar dan kebutuhannya dipenuhi oleh penguasa,“ tegas Arief pada Jumat (1/12). 

Kemudian sejatinya kebebasan berpendapat itu dijamin, dilindungi sebagai pondasi dari demokrasi. Namun kenyataan hari ini, sikap-sikap aparat, Undang Undang yang berlaku seperti UU ITE, UU KUHP justru membelenggu suara rakyat dan anti kritik. 

“Jika kita membaca hasil dari Indikator Politik, 60-70% masyarakat Indonesia mereka takut untuk berpendapat. Tidak percaya pemerintah bisa menerima kritik. Wajar kalau indeks demokrasi di Indonesia terjun bebas,“ jelas Arif. 

Intimidasi dan tekanan diterima oleh orang-orang yang mengkritisi pemerintah. 

“Represi bukan hanya fisik, tetapi bisa juga di-bully, offline-online, akunnya bisa dibajak. Lebih besar ancamannya. Dan ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Pun jika berharap pada hukum dan aparat penegak hukum,” tegas Arif lagi.

Arif menilai sekarang ini hukum justru dijadikan alat untuk melegitimasi praktek penyalahgunaan wewenang. 

Arif mencontohkan penggunaan aparat pemerintah seperti ASN, TNI-Polri, termasuk aparat desa beberapa waktu lalu dalam kampanye. 

“Padahal mereka tidak boleh ikut politik praktis, berkampanye. Ketika kemudian mereka dimanfaatkan untuk melabrak aturan, itu jelas penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai prinsip demokrasi. Tidak fair,” ungkap Arif. 

Dengan begitu, lanjut Arif, banyak penyelewengan, sehingga sulit untuk percaya bahwa Pemilu kita kedepan akan berlangsung Jujur dan Adil.

Ditandai Politik Dinasti

Sementara itu, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai suasana kebatinan masyarakat tengah sensitif dengan isu demokrasi. 

Hal itu, kata Gufron, muncul ketika ada berbagai pelarangan yang menghambat kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan menyampaikan pendapat.

“Saya kira ini suasana kebatinan yang dirasakan oleh masyarakat sipil, misalnya ada kasus pelarangan diskusi, pencegahan beberapa orang yang ingin diskusi di kampus karena ada intervensi kekuasaan, kemudian beberapa kawan yang mengkritik pejabat publik dilaporkan ke polisi, bahkan ada yang menghadapi proses hukum,” jelas Gufron.

Gufron menyoroti beberapa kasus yang terjadi seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kini berhadapan dengan hukum dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Bahkan yang terbaru Ketua BEM UI Melki Sedek Huang juga dikabarkan menerima intimidassi akibat mengkritik Putusan MK Nomor 90.

“Saya kira itu beberapa tanda yang dirasakan masyarakat dari menurunnya kebebasan sebagai cerminan dari demokrasi yang mengalami regresi,” tambah Gufron.

“Berbagai kejadian itu juga dinilai menjadi potret yang secara induktif menggambarkan situasi umum hari ini. Kebebasan di ruang publik untuk kritis, berekspresi, berorganisasi, berdiskusi itu menghadapi dinamika politik elite yang anti terhadap kebebasan,” papar Gufron.

Gufron menilai kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran serius, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Menurut Gufron, kemunduran demokrasi Indonesia semakin nyata saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 90 terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai melanggengkan politik dinasti.

“Demokrasi Indonesia mengalami de-konsolidasi, regresi. Indikatornya banyak. Puncak dari kemunduran itu salah satunya ditandai dengan politik dinasti yang dimuluskan lewat Putusan MK No.90,” tukas Gufron.

“Bahkan, jauh sebelum Putusan MK muncul, publik juga sudah dihantui ketakutan untuk berbicara kritis di ruang publik. 

Sebelumnya kan sudah banyak yang secara kritis menyoroti situasi kebebasan di ruang publik yang menurun. Orang takut untuk bicara, menyuarakan pandangan kritisnya ke pemerintah, presiden, DPR, dan elite politik. Beberapa di antaranya ada yang dilaporkan ke polisi, dikriminalisasi,” papar Gufron.

Karena itu, Gufron menyayangkan penguasa saat ini yang muncul dari mekanisme demokrasi justru menyerang demokrasi. 

“Padahal mereka misalnya presiden, elite politik lain yang duduk dalam kekuasaan kan mereka muncul dari mekanisme politik demokrasi. Tapi justru mereka menjadi aktor yang menyerang demokrasi, kebebasan. Tentu itu menjadi sebuah ironi,” pungkas Gufron Mabruri.