Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Saya pertama kali kenal Pak Sahala Rajagukguk itu waktu saya Letnan Satu, saat saya menjadi komandan Kompi pada operasi dengan sandi Nanggala 28. Waktu itu adalah tahun 1978, saya tiba di daerah operasi, di Timor Timur, kurang lebih akhir Oktober 1978.
Minggu-minggu pertama operasi saya berada di sektor Timur, yaitu di daerah Ossu. Kami menjadi cadangan pemukul di bawah kendali operasi komandan sektor Timur pada saat itu yaitu Kolonel Infanteri Raja Kami Sembiring Meliala. Untuk beberapa minggu kami menjadi kompi pemukul, mengejar musuh di pegunungan sekitar Gunung Builo.
Di awal bulan Desember, kami dipindahkan ke sektor tengah. Kami tiba di sektor tengah pada sore hari. Kalau tidak salah pada 18 atau 20 Desember. Di pinggir sebuah sungai, di satu kompleks gedung sekolah yang telah diambil alih dan digunakan oleh TNI, saya dapat briefing dari komandan sektor pada saat itu yaitu Letnan Kolonel Sahala Rajagukguk.
Pak Sahala menggelar peta dan beliau memberi kepada saya koordinat yang harus saya capai. Kemudian, pada saat menyampaikan perintah, beliau bertanya, “Prabowo, berapa lama kau akan sampai di sasaran tersebut?”
Dalam hitungan saya, mempertimbangkan kebiasaan kami bergerak sebagai pasukan khusus, dan pertimbangan waktu yang sebetulnya sudah mulai gelap sekitar jam 17.30 sore hari, “Saya akan sampai jam 4 pagi. Besok pagi Komandan.”
Kemudian Beliau menjawab, “jangan paksakan anak buahmu seperti itu Prabowo. Kau gunakan waktu lebih lama tidak apa- apa. Saya kasih waktu kau sampai besok sore, tidak usah jam 04.00 pagi.”
Saat saya mendapat perintah itu, saya merasa beban yang begitu berat dilepas dari pundak saya. Kami pasukan khusus waktu itu selalu dituntut bergerak cepat. Sekian puluh kilometer ditempuh dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Dan sering komandan- komandan kami, senior-senior kami yang memimpin dari radio selalu menekan pasukan untuk mencapai sasaran yang secara fisik cukup jauh dan cukup berat untuk dicapai.
Tapi ini pertama kali saya mendapat seorang komandan yang bisa merasakan jerih payah prajurit. Sehingga walaupun saya menyanggupi untuk sampai jam 04.00 pagi, beliau mengatakan jangan paksakan anak buah saya dan beri waktu sampai malam.
kedua. Itu membuat moril saya dan anak buah saya lebih tinggi sehingga kami akan berjalan lebih hati-hati dengan beristirahat berkala dan dengan demikian daya tempur kami pada saat sampai di sasaran akan lebih baik.
Pada saat kami sampai di sasaran, walaupun terjadi kontak tembak di sana sini, kekuatan inti musuh berhasil meloloskan diri. Selepas itu saya dapat perintah lewat radio untuk segera kembali ke Soibada. Waktu itu nama radio saya saat operasi Nanggala 28 adalah “Kancil.” “Besok Anda Kancil segera kembali ke Soibada, di Soibada Kancil akan dijemput pakai helikopter dan akan dipindahkan ke daerah operasi baru.”
Di saat itu kita tidak bergerak dengan santai dan leha-leha. Kita bergerak tanpa berhenti untuk kembali ke Soibada. Sore-sore kami sampai di sana, malam-malam kita istirahat. Pagi-pagi sudah ada helikopter jemput kami, dan kami dipindahkan.
Setelah turun dari helikopter, saya langsung bertemu Pak Rajagukguk. Hanya sebentar beliau kasih saya peta, dan perintahkan untuk menuju koordinat-koordinat yang beliau sudah berikan. Di situlah mulai pasukan kami menjejaki dan mengejar pasukan inti presiden musuh yaitu Nicolau Lobato.
Baru kita berjalan beberapa jam, kita sudah kontak tembak dengan pos depan musuh. Saya perintahkan untuk atasi gangguan pasukan terdepan merebut bukit yang dikuasai musuh. Musuh disergap dan mereka melarikan diri tapi tertinggal sebuah teropong. Teropong itu adalah teropong US Navy.
Pada saat sasaran sudah direbut, beliau memanggil saya. Sandi beliau waktu itu Gajah. Beliau memangil saya, “Kancil, Gajah, bagaimana situasi?”
“Gajah, Kancil, kami VC dengan musuh.” VC adalah singkatan dari bahasa Belanda tapi masih digunakan di TNI yaitu vuur contact. “Kami VC dengan pos depan musuh dan berhasil memukul, tapi kami tidak mendapat mayat atau senjata musuh. Tapi tertinggal teropong pandang musuh.”
“Coba kau jelaskan ciri-ciri teropong pada saya,” ujar Pak Sahala. Saya bacakan, “Ini teropong pandang US Navy, ada tulisannya.” Kemudian beliau sampaikan, “Saya akan turun di tempat kamu.”
Beberapa saat kemudian saya dengar suara helikopter yaitu helikopter Messerschmitt-Bölkow-Blohm Bo 105 yang biasa dipakai sebagai helikopter kodal. Padahal helikopter tersebut hanya bisa membawa tiga penumpang. Berarti kalau ada apa- apa, komandan sektor hanya punya dua pengawal. Kalau jatuh di tengah daerah musuh, ya kita bisa bayangkan apa yang terjadi. Tapi beliau tidak pernah ragu-ragu dan beberapa menit sebelum beliau akan mendarat, musuh kembali menembaki kami.
Karena penembakan itu, kami laporkan ke beliau, “Gajah jangan turun dulu masih terjadi tembakan musuh.” Sesudah berapa saat tembakan mereda, saya pun menyarankan, “Gajah, situasi masih bahaya. Kalau bisa Bapak tunggu dulu.”
“Saya tidak bisa tunggu, saya akan turun sekarang.” Setelah mendarat, mesin helikopter tidak berhenti, beliau keluar dan tanya kepada saya, “Mana teropong pandang?”
Begitu saya serahkan, beliau mengatakan, “Prabowo, kelompok ini adalah kelompoknya Lobato. Teropong pandang ini dipegang selalu oleh komandan pengawalnya Lobato, Sebastiano Sarmento, Komandan Brigade Schoke.”
“Kamu kejar terus jangan lepas. Lobato berada di depan kamu. Mungkin 3-4 jam di depan kamu. Saya akan berangkat lagi.”
Beliau tidak sampai 10 menit memberi pengarahan. Saya ditinggalkan satu kotak kaleng makanan T2, dan peta-peta baru. Kemudian beliau terbang lagi. Saya briefing komandan- komandan peleton saya. Kami tahu kelompok gembong musuh ada di depan kita hingga kita terus mengejar.
Kita lakukan pengejaran, dan pada 31 Desember 1978 pasukan kami lah yang terlibat dalam kontak tembak cukup ramai dengan pasukan pengawal Lobato. Pasukan pengawal Lobato itu kekuatannya sekitar 200 orang dengan senjata mungkin 60 pucuk. Atas perintah Pak Sahala kita lakukan pengejaran. Pada akhirnya, setelah kurang lebih 10 hari terus-menerus kita kejar akhirnya pada 31 Desember 1978 kita berhasil menangkap Lobato.
Kemudian hal-hal yang saya belajar banyak dari Pak Sahala Rajagukguk adalah bagaimana mengendalikan operasi anti gerilya. Bagaimana beliau menggunakan rakyat, dan tawanan-tawanan musuh, dan juga musuh yang beralih bergabung dengan kita sebagai sumber informasi.
Bagaimana beliau mempelajari sifat-sifat komandan lawan. Siapa pengawalnya. Apa perlengkapannya. Sehingga begitu ia tahu bahwa ada teropong pandang US Navy, beliau tanya kepada tawanan-tawanan dan orang-orang yang menjadi narasumber kita siapa yang biasa punya teropong pandang Angkatan Laut Amerika. Pada saat itu, di daerah itu ya ini merupakan peralatan yang unik. Tidak semua orang punya teropong pandang US Navy, mungkin teropong pandang US Army banyak. Dengan demikian dengan cepat ia bisa identifikasi bahwa pasukan yang terlibat dalam kotak tembak itu adalah pasukan Lobato.
Hal-hal yang dapat dipelajari dari Pak Rajagukguk yaitu ketenangan dalam memimpin, ketelitian mengumpulkan semua keterangan, penyusunan tim narasumber. Ia percaya tidak ada operasi yang berhasil tanpa intelijen yang baik. Pada saat itu kita tidak punya satelit, tidak punya UAV, juga tidak punya drone. Tidak ada teknologi.
Kita hanya punya daya analisis tradisional yaitu wawancara, interogasi, eliciting information untuk mengukuhkan gambar tentang situasi. Picture of the situation, the picture of the battleground.
Selain tenang, teliti, juga berani, begitu kontak tembak selesai langsung turun kepada pasukan yang paling depan memberi perintah. Perintah beliau sangat singkat, tidak pernah bertele- tele. Di situ saya belajar kepemimpinan lapangan.
Apa yang diajarkan di sekolah itu bagus, benar dan sebagai patokan yang harus dilaksanakan. Dan sering di daerah operasi kita tidak mampu memberi perintah-perintah operasi yang lengkap. Kadang-kadang hanya dengan koordinat di peta, petunjuk-petunjuk yang ringkas, pasukan harus tahu apa yang dilakukan. Itulah yang bisa saya pelajari dari Pak Rajagukguk.
Selanjutnya beliau tidak pernah mau menekan pasukan. Sesuaikan dengan kemampuan, jangan Paksakan sehingga anak buahmu tidak over exhausted atau terlalu combat fatique. Hal ini bisa mengakibatkan kelengahan sehingga bisa masuk ke lingkaran musuh. Itu pelajaran dari beliau. Harus diakui kemampuan memimpin dalam karier saya, saya banyak belajar dari Pak Rajagukguk.