Solusi Paradoks Indonesia: Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka (Mewujudkan Ekonomi Konstitusi)

Solusi Paradoks Indonesia: Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka (Mewujudkan Ekonomi Konstitusi)

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari buku: Paradoks Indonesia dan Solusinya]

Mewujudkan Ekonomi Konstitusi

Jika saudara pernah belajar ilmu ekonomi, saudara tentu tahu kalau ada banyak mazhab ekonomi di dunia ini. Ada mazhab ekonomi yang disebut neoklasikal, pasar bebas, dan neoliberal. Ketiga ini sering dikelompokkan sebagai mazhab ekonomi Adam Smith. Kemudian ada mazhab sosialis, atau mazhab ekonomi Karl Marx.

Dalam perjalanan sejarah, ada yang mengatakan, “Indonesia harus memilih A”. Ada juga yang bilang, “sebaiknya kita pakai B”. Pertentangan ini ada sampai sekarang.

Kalau saya berpendapat, “Lho, kenapa kita harus memilih?”. Kita mau ambil yang terbaik dari kapitalisme, dan yang terbaik dari sosialisme.

Gabungan yang terbaik dari keduanya inilah yang disebut oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, oleh bapak saya Prof. Sumitro, sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila, yang bentuknya tertulis di Undangundang Dasar ’45, khususnya di pasal 33. Boleh juga kita sebut ‘ekonomi konstitusi’.

Setelah 1998, Kita Keliru

Saya ingin menggugah sekarang, bahwa setelah ’98 saya kira kita keliru. Setelah ’98, sebagai bangsa, kita melupakan jati diri kita. Kita tinggalkan pasal 33 Undang-undang Dasar ’45, kita tinggalkan ekonomi Pancasila.

Di situlah perjuangan saya selama belasan tahun ini. Menggugah, membangkitkan lagi kesadaran,mengingatkan ajaran-ajaran Bung Karno: berdiri di atas kaki kita sendiri.

Ini yang saya kira fundamental, dan banyak kita lupakan. Kita percaya globalisasi, kita percaya katanya sekarang sudah tidak ada perbatasan, borderless world.

Namun coba Anda mau ke Amerika. Anda tidak bisa masuk tanpa visa. Kadang orang Indonesia tidak dikasih visa. Berarti ada border. Akhir-akhir ini banyak orang mau ke Australia lewat laut kita, namun kapal-kapal perang Australia menahan. Jadi, walau sekarang kita banyak berdagang, border tetap ada. Karena itu kita harus punya kekuatan sendiri.

Ingatlah, nasionalisme bukan hal yang jelek. Nasionalisme adalah cinta bangsa sendiri. Kalau bukan kita yang mencintai bangsa kita, siapa? Apa kita harus minta dikasihani bangsa lain?

Nasionalisme juga bukan sesuatu yang hina. Semua bangsa membela kepentingan nasional bangsa mereka. Kenapa bangsa Indonesia tidak boleh membela kepentingan kita? Kenapa petani kita tidak boleh dibantu negara?

Contoh, dalam bidang pertanian, petani Amerika dibantu negaranya. Petani Australia dibantu negaranya. Petani Vietnam dibantu negaranya. Petani Thailand dibantu negaranya.

Kalau kita bilang, “kita mau dong, kepentingan nasional kita harus dijaga.” Kadang kita dibilang, “wah, kamu anti asing.” Tidak. Saya katakan, kita tidak boleh anti asing. Dunia sudah semakin sempit, dan tradisi bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka. Kita bersahabat, tetapi kita harus kuat dan bisa mandiri.

Kemandirian dan kemampuan suatu negara dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri sekarang dapat dinilai dalam sebuah indeks yang dinamakan index of economic complexity – indeks kompleksitas ekonomi.

Adalah Professor Ricardo Hausmann dari Harvard University yang juga mantan Menteri Perencanaan Venezuela yang menemukan korelasi sangat kuat antara kesejahteraan sebuah negara dengan kemandirian dan kemampuan suatu negara dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri.

Artinya resep IMF di tahun 1998 yang mematikan banyak industri kita sangat keliru dan harus kita tinggalkan jauhjauh. Kita harus segera membuat apa-apa yang bisa kita buat di dalam negeri sendiri. Kita harus punya industri kapal, industri mobil, industri pangan, industri sandang, industri senjata, industri segala kebutuhan pokok dan industri-industri pengolahan barang-barang intermediate. Dengan ini, kompleksitas ekonomi kita akan meningkat dan Rupiah bisa menguat.

Tujuan Kita: Ekonomi Konstitusi, Bukan Sosialisme

Sosialisme murni, walaupun bagus dalam tulisan, sebenarnya tidak bisa dijalankan. Karena, dalam sosialisme murni, ada asas sama rasa sama rata yang tidak mungkin dijalankan. Jika dijalankan, nanti orang tidak ada yang mau kerja keras.

Ya, dalam sosialisme murni, orang kerja keras dan tidak kerja keras bergaji sama. Orang pintar dan orang tidak pintar bergaji sama. Orang mau belajar dan tidak mau belajar bergaji sama.

Bahkan dalam utopia sosialis, di ujungnya tidak ada uang. Tidak boleh ada uang. Bagaimana? Ini kan utopia. Impian. Susah dilaksanakan, dan terbukti negara-negara yang coba jalankan sistem sosialis murni gagal di mana-mana.

Artinya, bapak-bapak kita, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir benar. Yang tepat adalah ekonomi campuran.

Bapak saya di meja makan selalu bercerita. Istilah Prof. Sumitro adalah ekonomi campuran, mixed economy. Yang terbaik dari kapitalis, dan yang terbaik dari sosialis, ini yang
kita pakai.

Kalau kita baca sejarah Indonesia, dulu pernah ada keputusan untuk menggunakan sistem ekonomi Pancasila. Ekonomi kita harus berasaskan kekeluargaan. Intinya, yang kuat monggo, tetapi yang lemah harus ditarik. Nanti akan ada suatu equilibrium, ada keseimbangan. Tidak benar, ekonomi yang berasaskan “yang kuat harus selalu menang, yang lemah, ya terserah”. Paham kapitalisme murni seperti itu. Greed is good, keserakahan bagus. Hasilnya, yang lemah akan mati.

Kalau dalam paham kapitalisme murni, nanti yang sejahtera, yang hidupnya bagus, mapan, dan aman, hanya 1% dari penduduk. Bahkan mungkin 1% dari yang 1%. Hanya beberapa keluarga saja yang benar-benar kaya.

Ini yang terjadi sekarang di Indonesia, yang juga terjadi di Barat. Di Barat pun sudah banyak yang mempertanyakan. Dulu banyak yang percaya trickle down effect. Ekonomi menetes ke bawah. Kenyataannya, yang terjadi adalah trickle up effect. Mereka yang kaya, semakin kaya – sementara mereka yang miskin semakin miskin saja.

Kalau kita, yang harus kita jalankan adalah mazhab ekonomi jalan tengah. Mazhab ekonomi campuran, atau kata mantan PM Inggris Tony Blair “ekonomi jalan ketiga”, “the third way”. Atau, istilah tahun ’45, kembali ke Bung Karno, Bung Hatta, mazhab “ekonomi kerakyatan”.

Sekarang kalau kita ke Vietnam, sering terlihat ada mural di pinggir jalan bertuliskan “economy for the people, not people for the economy”. Ekonomi harus untuk rakyat, bukan rakyat untuk ekonomi. Orientasi kita harus seperti itu.

Kalau sekarang kita ternyata keliru, kita harus berani banting haluan. Kita sekarang harus kembali ke cetak biru yang dibuat oleh Founding Fathers, Para Pendiri Bangsa kita, yaitu Undang-undang Dasar ’45.

Saya katakan demikian, karena di Undang-undang Dasar ’45 pasal 33 yang asli sudah sangat gamblang: Bahwa ekonomi kita tidak menggunakan mazhab pasar bebas, tetapi berasaskan kekeluargaan.

Kemudian, ayat 2 dari pasal 33 sangat gamblang lagi. Bahwa semua “cabang-cabang produksi yang penting harus dikuasai negara”. “Menguasai hajat hidup orang” dikuasai oleh negara.

Selanjutnya, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Inilah rancang bangun ekonomi kita. Inilah sistem yang seharusnya kita jalankan – ekonomi konstitusi. Kalau kita konsekuen menjalankan, seperti sekarang Tiongkok konsekuen menjalankan konstitusi mereka, saya kira mengalirnya kekayaan alam kita ke luar, mengalirnya kekayaan nasional kita ke luar yang saat ini terjadi, akan bisa kita hentikan.

Paham Ekonomi Konstitusi: Bebas Boleh, Tetapi Harus Waspada

Seperti tadi saya sampaikan, ekonomi kita harus ekonomi tengah, ekonomi campuran, ekonomi konstitusi. Jangan full kapitalis, jangan full sosialis.

Kita harus ambil yang terbaik dari kapitalisme. Kapitalisme mendorong inovasi. Kapitalisme mendorong entrepreneurship / kewirausahaan, dan mendorong investasi.

Kapitalisme harus diimbangi dengan pengamanan rakyat banyak. Kalau kapitalisme murni, yaitu melepaskan semua hal ke pasar, akibatnya adalah apa yang sekarang kita alami. Di ekonomi bebas, tidak ada perlindungan, tidak ada harapan untuk orang miskin.

Sosialisme menjamin adanya jaring pengamanan untuk orang paling miskin. Pemerintah, pada saat-saat yang kritis memang harus intervensi. Pemerintah negara mana pun yang ingin mengurangi kemiskinan harus menjadi pemerintah yang aktivis, yang berani turun membantu mereka yang di bawah garis kemiskinan, karena mereka tidak berdaya. Jika tidak ada keberpihakan, mereka akan terus tidak punya kemampuan, pendidikan, keterampilan, bahkan gizi saja kurang.

Namun, kita tidak bisa membagi-bagi uang tanpa ada pendidikan, tanpa ada pelatihan, tanpa ada manajemen, tanpa ada pendampingan. Harus ada strategi. Inilah yang dimaksud nation building, pembangunan negara. Kalau kita masih di taraf nation building, pemerintah harus aktif mengarahkan rakyat.

Paham Ekonomi Konstitusi: Pemerintah Harus Jadi Pelopor

Kalau pakai paham ekonomi konstitusi, maka soal pembangunan, soal pertanian, soal pembangunan prasarana, soal menciptakan lapangan kerja, dan soal mengurangi kemiskinan, pemerintah harus proaktif. Pemerintah harus jadi pelopor.

Dalam membangun ekonomi, menyelamatkan negara, membangun kemakmuran, dan mengurangi kemiskinan, pemerintah harus jadi pelopor. Pemerintah tidak boleh hanya menjadi wasit.

Ini bedanya paham neoliberal dan paham ekonomi konstitusi.

Paham neoliberal, paham neoklasikal, mungkin bagus untuk Barat sekarang. Tetapi, kita harus sadar, banyak negara Barat sudah “500 tahun” di depan kita.

Pendapatan per kapita di negara-negara Barat yang maju sudah di atas USD 30.000, USD 40.000, bahkan USD 50.000. Kita baru di kisaran USD 4.000.

Bagi para pengikut paham neoliberal, seperti Milton Friedman, Von Hayek, Thatcher, mereka berpendapat, “the least government is the best government.” Semakin sedikit peran pemerintah, semakin bagus. Pemerintah harus di belakang. Pemerintah wasit saja. Pemerintah tidak boleh ikut dalam proses ekonomi.

Kalau kita ikuti paham ini, siapa yang mau bikin waduk? Apakah swasta mau bikin waduk? Siapa mau bikin terminal, siapa mau bikin pelabuhan, terutama di tempat-tempat yang terisolasi?

Swasta tidak akan mau. Jangka waktu balik modal pembangunan infrastruktur terlalu lama untuk swasta. Karena itu sekarang lihat di Indonesia, sebagian besar pembangunan di sekitar Jakarta. Pabrik-pabrik besar adanya di sekitar Jakarta. Siapa swasta yang mau bangun pabrik di Halmahera atau di Gunung Mas? Karena dari itu, pemerintah harus jadi pelopor ekonomi.

Kita negara besar. Jika ada yang sudah kuat, silakan. Saya kira pemerintah tidak perlu terlibat dalam industri bioskop, umpamanya, atau industri ayam goreng, atau buka kedai kopi. Tapi pemerintah harus mendidik pemuda-pemuda Indonesia yang putus sekolah dan tidak memiliki pekerjaan. Untuk mereka, pemerintah harus intervensi dengan berani. Kalau perlu hulu sampai hilir. Anak-anak itu dilatih, diberi keterampilan, dan didampingi sampai mereka bisa produktif.

Ini bukan pekerjaan yang ringan. Untuk petani kita, kalau perlu pemerintah bantu dari benih. “Ini benihnya, ini caranya menanam, ini caranya mengairi, jumlah air segini, jangan terlalu banyak. Ini pupuknya. Nanti panennya begini. Nanti setelah kamu panen, saya beli dari kamu. Saya yang pasarkan, sampai masuk ke supermarket yang paling hebat kualitasnya.”

Kalau perlu, Pemerintah yang ambil alih resiko pertanian dari petani, dan jalankan pertanian secara korporasi agar petani dapat sejahtera, dan Pemerintah mendapatkan economies of scale dari usaha pertanian skala besar. Skala industri.

Kalau pemerintah tidak bantu, mereka selamanya tidak bisa bersaing karena posisi petani kita saat ini terlalu lemah. Ini argumen saya. Sebetulnya ini bukan argumen yang baru.

Banyak negara sudah melaksanakan. Tiongkok, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan India sudah melakukan ini.

Tidak ada cara lain untuk membuat rakyat yang lemah dapat bersaing dan punya harapan. Pemerintah harus membantu. Apalagi untuk pangan, karena pangan adalah strategic commodity. Pangan bukan sekadar economic commodity. Pangan adalah strategic commodity, komoditas strategis untuk kepentingan bangsa dan negara.

Sejarah dunia, yang saya pelajari, sejarah antarbangsa, itu kejam. Pimpinan negara asing tidak ada urusan, dia hanya memikirkan kepentingan nasional negara dia.

Tidak ada negara yang akan mengutamakan kepentingan bangsa lain. Ucapannya mungkin beda, mungkin manis, tetapi dia pada akhirnya akan selalu mengutamakan kepentingan dia, kepentingan negaranya.

Karena itu, salah satunya saya selalu katakan bahaya kalau soal makan tergantung impor. Makan tidak boleh tergantung impor. Kita tidak boleh menganggap bahwa negara-negara asing sayang pada Indonesia. Kita tidak bisa menggantungkan urusan perut bangsa kita ke bangsa lain.

“Oh, gampang, kalau kita kurang makan, nanti kita impor dari Vietnam, atau dari Thailand.”

Beberapa tahun yang lalu Thailand sudah bikin kontrak dengan kita, untuk sekian juta ton beras. Namun, Thailand kena musibah kebanjiran. Sawah-sawahnya banjir. Terpaksa tidak bisa memenuhi komitmen dia.

Akhir-akhir ini pun, banyak negara menghentikan ekspor pangan karena pandemi COVID 19. Mereka mementingkan pemenuhan pangan di dalam negeri dulu, baru ekspor ke luar.

Semua negara bisa kena bencana alam, bisa perang, bisa pandemi. Thailand pernah kebanjiran, 70% sawahnya banjir, puso. Rusia pernah kebakaran sampai ladang-ladang gandumnya terbakar, tidak bisa ekspor gandum. Harga gandum naik, harga jagung naik, harga beras naik. Dibandingkan dengan angka tahun 2002, indeks harga bahan makanan dunia di bulan November 2020 sudah naik 97%.

Bayangkan. Ini sudah fenomena, gejala yang sudah kita ingatkan berkali-kali. Perdagangan bebas boleh, tetapi harus dikendalikan Pemerintah, dan harus selalu waspada.

Tugas Kita: Hentikan Kebocoran dan Dorong Produksi Bangsa

Nasib bangsa kita harus kita raih sendiri. Kalau kita tidak berani memperbaiki keadaan kita, kondisi negara kita akan semakin parah. Karena itu, di buku ini saya sampaikan kepada saudara, apa-apa saja yang menjadi tugas kita bersama.

Pertama, kita harus menyelamatkan kekayaan negara. Kita harus hentikan mengalirnya kekayaan negara ke luar negeri supaya kita punya uang untuk membangun pabrik-pabrik dan mendorong produksi nasional. Kalau kita terus biarkan kekayaan kita mengalir ke luar, suatu saat kita akan kehilangan sumber daya untuk memperbaiki semuanya.

Kita perlu punya pabrik mobil buatan Indonesia. Karena kita punya cadangan nikel terbesar di dunia, sekalian kita buat pabrik mobil listrik. Orang Indonesia beli satu juta mobil tiap tahun. Masa satu pun tidak ada mobil milik Indonesia?

Kita juga perlu punya pabrik motor milik Indonesia. Kita perlu punya pabrik pesawat terbang Indonesia. Kita sudah punya PTDI, dan kita harus perkuat. Kita perlu perkuat pabrik kereta api buatan Indonesia. Kita perlu perkuat pabrik kapal-kapal buatan Indonesia.

Dengan mendorong produksi bangsa, anak-anak Indonesia akan punya punya pekerjaan yang baik, yang layak, yang terhormat. Kita tidak mau anak-anak kita jadi kuli-kuli seterusnya.

Inilah inti dari strategi ekonomi yang saya sampaikan dalam buku ini: Mendorong produksi bangsa. Mendorong produktivitas bangsa. Produksi bangsa berarti barang untuk keperluan pasar Indonesia dihasilkan oleh rakyat Indonesia, di Indonesia, dengan bahan-bahan Indonesia.

Kalau pasar lain mau beli, Alhamdulillah. Saya juga ingin kita ekspor barang-barang produksi Indonesia ke luar negeri.

Kalau produksi kita kuat, kalau kita tidak banyak impor, kalau kita menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis, terutama pangan, pakaian, kebutuhan-kebutuhan pokok, energi, ini kan value? Berarti mata uang kita dengan sendirinya akan menguat. Orang akan mencari, orang akan
membeli rupiah.

Mata uang itu cermin dari produktivitas suatu bangsa. Kalau produktivitas kita kuat, mata uang kita akan mapan.

Kalau kita lihat periode tahun 2003-2013, nilau tukar mata uang kita cukup stabil, selama sepuluh tahun. Kenapa? Karena ekspor kita kuat. Tapi, ekspor kita pada tahun-tahun itu mengandalkan bahan baku, mengandarkan komoditas.

Namun sayang, sepuluh tahun itu ketika kita ada profit, ada keuntungan, tidak dimanfaatkan untuk banting setir memperkuat produksi. Value add, processing.

Tetapi, saya masih sangat optimistis. Kita punya kekuatan fundamental, kita punya kekuatan inheren. Hanya manajemennya harus cepat dan cerdas. Bangsa Indonesia sudah terlalu banyak menghambur-hamburkan kesempatan.

Dengan strategi nasional yang tepat, saya yakin Indonesia bisa punya kekuatan industri yang dihormati. Kita akan punya produk-produk industri yang dihormati. Dan pada
ujungnya, Rupiah kita bisa kuat.

Tugas Kita: Jadikan BUMN Ujung Tombak Ekonomi

Menurut saya, untuk hal-hal yang strategis, pemerintah harus pakai BUMN sebagai ujung tombak. BUMN sebagai implementer. Banyak negara bisa. Singapura bisa. Tiongkok dengan 150.000 BUMN-nya bisa bisa. Kita juga harus bisa.

Untuk itulah, BUMN-BUMN kita perlu merekrut manajermanajer, insinyur-insinyur, direksi-direksi yang kapabel.

Tidak mungkin tidak ada orang-orang handal di Indonesia. Apakah kita tidak percaya kepada bangsa kita sendiri? Yang banyak orang-orang yang tidak diberikan kesempatan.

Saya kembali, pengalaman saya di tentara. Ada sebuah adagium, sebuah ajaran klasik, di semua tentara di seluruh dunia. Ajarannya adalah “there are no bad soldiers, only bad commanders”.

Tidak ada prajurit yang jelek, yang ada hanya komandan-komandan yang jelek. Yang ada hanya pemimpinpemimpin yang jelek. Kalau dipimpin dengan baik, saya yakin anak-anak muda, profesional-profesional kita bisa. Saya yakin, dan saya sudah buktikan berkali-kali.

Sebagai contoh, bangsa Indonesia bukan bangsa yang punya salju. Ada salju di puncak Gunung Jayawijaya, tapi rakyat kita rata-rata belum pernah bertemu salju. Tapi, waktu saya bikin tim untuk masuk ke Himalaya, anak-anak kita yakin bisa sampai ke puncak, dan mereka tidak kalah dari bangsa-bangsa yang sudah punya salju dan punya gunung seperti di Eropa.

Kita berlatih hanya tiga bulan. Banyak pendaki negara lain yang berlatih tiga, empat tahun tetapi gagal mencapai puncak Everest. Tiga bulan berlatih, putera-putera Indonesia bisa sampai di puncak dunia, dan jadikan Indonesia bangsa Asia Tenggara pertama yang berhasil.

Tugas Kita: Kekayaan Alam Indonesia Harus Diolah di Indonesia

Kekayaan alam Indonesia harus diolah di Indonesia. Kenapa? Karena kita bisa tambah pendapatan negara dari mengolah kekayaan alam kita yang sekarang banyak kita jual mentah. Karena mentah, karena belum diolah, kita jual murah. Kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nilai tambah dari bahan alam kita.

Bahkan, saya mendapat laporan, jika dihitung selama 30 tahun, kehilangan nilai tambah karena ekspor konsentrat tembaga bisa mencapai USD 108 miliar. Untuk gas alam, karena jual mentah selama 30 tahun, kita kehilangan kesempatan nilai tambah USD 225 miliar. Dua komoditas ini saja, sudah USD 333 miliar atau Rp. 4.329 triliun yang tidak kita olah.

Sebagai contoh, konsentrat tembaga. Pada tahun 2015 lalu kita ekspor konsentrat sekitar 3 juta ton dengan harga USD 1.499 per ton. Dari ekspor ini kita dapat USD 4,5 miliar. Padahal jika kita olah di dalam negeri jadi tembaga, emas, perak, asal sulfat dan slag, kita bisa dapat USD 8,1 miliar.

Kita hilang kesempatan dapat nilai tambah USD 3,6 miliar, sekitar Rp. 46,8 triliun setiap tahun.

Contoh, lain gas alam. Pada tahun 2015 lalu, kita ekspor gas alam sejumlah 3.100 MMSCD atau 20 juta ton. Kita jual USD 7 per MMBtu. Total kita dapat USD 7,2 miliar. Padahal kalau kita olah terlebih dahulu jadi methanol, olefindan ammonia, kita bisa dapat USD 14,7 miliar. Lebih dari dua ratus persen pendapatan kita naik, jika kita lakukan  pengolahan.

Ini masalah besar, tapi juga kesempatan besar. Sudah kita biarkan keuntungan ekspor kita hilang, kita juga tidak mau olah sumber daya alam kita. Kalau kita olah di dalam negeri, kita bisa menjadi negara sangat kaya. Kita akan menjadi negara mungkin keenam terkaya di dunia.

Saat ini Presiden Joko Widodo sudah menerapkan larangan ekspor untuk nikel – salah satu komoditas unggulan kita. Walaupun digugat oleh World Trade Organization, Presiden bersikukuh bahwa larangan ekspor nikel adalah kebijakan yang benar. Ini adalah kegigihan yang harus kita pertahankan. Lebih baik kita ekspor baterai mobil listrik, atau mobil listrik, jangan ekspor nikel mentah untuk diolah negara lain.

Selain nikel, Presiden Joko Widodo juga mendorong hilirisasi untuk bauksit, tembaga, rotan, CPO dan berbagai produk unggulan Indonesia lainnya. Kekayaan alam Indonesia memang harus diolah di Indonesia.

Tugas Kita: Jadikan Koperasi Alat Pemerataan & Motor Swasembada

Koperasi adalah alat pemerataan. Koperasi adalah alat untuk memperkuat yang lemah. Karena itu, peran koperasi dalam ekonomi kita harus kita digalakkan lagi.

Namun, ini tidak berarti koperasi kita besarkan dan swasta kita lemahkan. Tidak. Paham ekonomi konstitusi adalah, swasta silakan. Go, swasta, BUMN, koperasi, berlomba kamu, maju!

Namun, pihak yang lemah dibantu atau diberdayakan melalui koperasi. Inilah sebetulnya mazhab itu. Jadi, bukan saling bertentangan. Malah kita harus bergerak sejajar.

Jadi, swasta, BUMN, koperasi, bisa menarik ekonomi bangsa ke depan. Masing-masing dengan kekuatannya. Sebetulnya itu yang kita lihat dilaksanakan di Korea, dilaksanakan di Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Tiongkok.

Koperasi di Indonesia kita pernah jadi sorotan kekaguman bagi bangsa-bangsa lain. Mereka belajar ke kita, belajar tentang BIMAS, belajar tentang BULOG, belajar tentang swasembada dari kita.

Kalau dipimpin dengan baik, saya percaya, saya optimistis koperasi di Indonesia bisa benar-benar besar dan bisa menjadi alat pemerataan.

Benar, akan ada tantangan, dan akan ada kegagalan.

Sebagai contoh, saya mau bicara soal produksi dan distribusi pupuk. Pupuk kan dibuat oleh pabrik pupuk milik negara, milik rakyat? Yang bikin pabrik pupuk itu uang rakyat. Modal kerjanya uang rakyat. Tapi, begitu pupuk dihasilkan, dan didistribusi, distributornya perusahaan swasta. Kalau zaman Pak Harto, zaman Orde Baru, tidak. Yang distribusi pupuk adalah koperasi, koperasi unit desa (KUD).

Karena koperasi dianggap tidak sesuai dengan asas pasar bebas oleh beberapa orang, diganti jadi swasta. Dengan swasta, PT-PT yang dikasih, akhirnya, ya kita tahulah di Indonesia, kan? Nepotisme.

Yang ditunjuk sebagai distributor rata-rata keluarga pejabat. Keluarganya direktur perusahaan, atau keluarganya direktur BUMN, atau keluarganya gubernur, bupati, ata keluarganya pemimpin partai yang berkuasa, atau yang berpengaruh.

Jadi, kita harus kembali ke fundamental, ke asas-asas yang benar. Ini barang rakyat, pabrik rakyat, dibangun dengan uang rakyat, modal kerja dari APBN, uang rakyat, distribusinya harus juga oleh rakyat. Yaitu, melalui koperasi, dan melalui pemerintah kalau perlu.

Selain jadi alat pemerataan, koperasi juga bisa jadi motor swasembada kita. Namun untuk itu harus ada pengerahan tenaga, pikiran, usaha yang sangat sungguh-sungguh. Kita tidak bisa anggap ini adalah pekerjaan biasa. Ini bukan pekerjaan biasa. Kita harus anggap ini sebagai suatu usaha nasional.

Tugas Kita: Kembalikan Konstitusi Negara ke Naskah UUD 1945 Asli

Saya orang yang berpendapat bahwa masalah ekonomi negara tidak terlalu jauh berbeda dengan mengatur diri sendiri, mengatur rumah tangga, dan mengatur perusahaan.

Coba bayangkan kalau kita bekerja, tapi tidak jelas tabungan kita ada di mana? Kan kita jadinya tidak bisa apaapa? Anda bekerja, umpamanya, tiap bulan. Anda digaji, tapi sebagian dari gaji Anda tidak boleh Anda gunakan, tidak boleh untuk menabung. Maka Anda tidak tidak bisa berbuat banyak.

Pasal 33 Undang-undang Dasar ’45 dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita untuk memastikan negara kita punya tabungan yang cukup untuk membangun.

Selama pasal 33 Undang-undang Dasar ’45 tidak kita patuhi, selama itu kekayaan kita akan terus mengalir ke luar negeri. Selama itu mata uang kita tidak akan kuat, dan selama itu ekonomi kita akan menjadi bancakan bangsa Ini yang harus kita ubah.

Ini yang harus kita perbaiki. “Bumi, air dan semua kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Itu adalah perintah Undangundang Dasar ’45.

Namun, itu yang banyak elite Indonesia pura-pura tidak baca. Ada juga orang-orang pintar di Indonesia pura-pura tidak tahu tentang Undang-undang Dasar ’45. Mereka mengatakan pasal 33 ini kuno, sudah kedaluwarsa, tidak penting. Sebagian juga mengatakan, “sekarang yang penting adalah persaingan bebas, pasar bebas, globalisasi”. Semua serahkan ke pasar. Nanti, yang kaya sedikit, tapi dia akan meneteskan ke bawah kekayaannya. Trickle down effect. Netes, netes, netes.

Benar ada yang menetes, tapi mohon maaf, mungkin kita semua sudah mati baru sampai turun ke bawah.

Selain itu, kalau saya bicara UUD 1945 Pasal 33, seringkali saya diledek. Bahkan ada yang mengatakan, “Prabowo bahaya. Prabowo nanti akan nasionalisasi. Semua milik orang kaya akan diambil.”

Anggapan tersebut tidak benar. Yang saya mau adalah, kita besarkan ekonomi kita, dan ekonomi dibagi lebih rata. Jangan 1% yang kuat menguasai semua. Jangan asing menguasai semua. Yang kuat, monggo, maju kamu. Negara angkat yang kurang kuat.

Prinsip saya adalah live and let live. Hidup dan jadikan orang lain hidup. Jangan live for yourself. Jangan zero sum game. Jangan I win, you lose.

Prinsip saya, saya menang, kamu juga menang. Kita menang. Win-win, itu yang saya mau, dan itu prinsip yang terkandung di UUD 1945 Pasal 33, Ayat 1 hingga Ayat 3.

Pasal 33 sangat jelas. Ayat 1. “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Jadi, ini dasar. Kita tidak boleh punya pendapat yang kuat tambah kuat, yang tidak kuat terserah. Pendapat seperti itu bukan Pancasila, bukan cita-cita pendiri bangsa kita.

Sesuai Ayat 1, yang ekonominya kuat harus tarik yang lemah. Pemerintah harus jadi pelopor, bukan wasit.

Pemerintah harus di depan untuk menjaga kekayaan negara. Kalau rakyat masih miskin, pemerintah harus ikut bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Ini adalah perintah Undang-Undang Dasar ’45.

Ayat 2, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Ini perintah konstitusi Republik Indonesia.

Ayat 3, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ini bukan maunya Prabowo, ini perintah Undang-undang Dasar kita.

Saat ini, elite Indonesia banyak meninggalkan nilai-nilai Undang-undang Dasar ’45. Meninggalkan nilai-nilai Pancasila.

Pancasila dipakai di mulut, tetapi tidak dijalankan. Ini dimungkinkan oleh amandemen UUD 1945 yang telah menambahkan Ayat 4 dan Ayat 5 di Pasal 33. Ayat 4, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi”, yang sesungguhnya bertabrakan dengan Ayat 1 hingga Ayat 3 karena menjadikan ekonomi Indonesia menjadi ekonomi bermazhab pasar bebas.

Karena itulah, saya percaya, kalau kita benar-benar ingin berjuang menuju negara sejahtera, kita harus lihat sumber penyakit kita apa, dan kita harus perbaiki sumber penyakit itu. Root cause, atau akar permasalahan ekonomi kita ada di Pasal 33 yang telah diganti dan tidak dijalankan sepenuh hati.

Untuk memperbaikinya, kita harus kembalikan konstitusi kita ke naskah aslinya, versi 18 Agustus 1945. Dengan demikian ekonomi Indonesia akan dikuasai oleh rakyat Indonesia, dan negara akan punya tabungan untuk membangun.

Dengan demikian, para pimpinan, para tokoh politik yang sekarang hadir di tengah rakyat, bisa berhenti jadi pemimpi. Bisa berhenti jadi ‘pejuang akan’. Akan ini, akan itu, tapi tidak bisa berbuat banyak karena uangnya tidak ada. Kalau uangnya ada, akan ada banyak yang mereka bisa perbuat untuk Indonesia.

Source: https://prabowosubianto.com/solusi-paradoks-indonesia-menuju-100-tahun-indonesia-merdeka-mewujudkan-ekonomi-konstitusi/