Pentingnya Memilih Hari Raya Idul Fitri dengan Bijak

Pentingnya Memilih Hari Raya Idul Fitri dengan Bijak

ASKARA – Jagat media sosial kembali ramai oleh pemberitaan seseorang bernama Mbah Benu–demikian ia disapa oleh jamaahnya, yang telah melaksanakan shalat Idul Fitri, di masjid Aolia, berjarak sekurangnya 5 hari sebelum Kementerian Agama secara resmi memutuskan kapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri. Saya sudah membaca sekilas beritanya. Konon, keputusan menentukan Idul Fitri itu telah menjadi tradisi meskipun harus berbeda jauh dengan keputusan Kementerian Agama.

Setelah pemberitaan tersebut muncul ke permukaan, publik Muslim yang awam maupun cendekiawan terbelah antara yang pro dan kontra. Ada yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Mbah Benu itu tidak ada masalah, dengan dalih kebebasan berpendapat dan beragama. Apalagi keputusan Mbah Benu sudah mentradisi. Yang menolak keputusan itu, ada yang memang tidak bijak, ada yang menyampaikan keberatan, tapi tetap mengkritisi secara baik-baik keputusan Mbah Benu sebagai keputusan yang tidak didasarkan ilmu yang otoritatif.

Berikut di bawah ini, salah satu komentar cendekiawan atas pemberitaan ini, saya coba kutipkan di sini:

“Mbah Benu Gunungkidul dan ‘pengikutnya’ telah berlebaran dan ia mengakui telah melakukan kontak langsung dengan Gusti Allah untuk menegasikan ‘metode’ yang biasa digunakan untuk menetapkan 1 syawal. Saya tidak mengerti mengapa orang yang merasa pintar bereaksi begitu arogan kepada mereka. Mereka punya cara pikir yang otonom didasarkan pada keyakinannya dan pengalaman berkeyakinan mereka. Cara pandang ‘luar’ tak berhak ‘mengadili’ dan merasa lebih punya otoritas kebenaran lalu merendahkan dan mentertawakan mereka. Kata ’tilpun langsung’, yang dipakai oleh Mbah Banu dalam bahasa Antropologi agama merupakan metafora agar yang mendengarnya mengerti. Bukankah setiap manusia yang pernah berdoa pada hakikatnya melakukan ’tilpun langsung’ kepada Tuhan sesembahannya. Mengapa harus menganggap mereka ‘agak laen’ hanya karena berbeda dalam memutuskan akhir Ramadan? Sugeng Riyaya Mbah, nyuwun pangapunten sedaya lupun lan lepat.”

Kali ini saya akan melayangkan kritik, bukan hanya kepada Mbah Benu, tetapi kepada cendekiawan tersebut yang saya kutip pendapatnya, berikut siapa pun yang punya pendapat serupa dengan cendekiawan tersebut. Kritik dalam beragama dan pemikiran itu hal biasa dan bukan sebuah sikap arogan. Oleh karena itu, yang dipersoalkan pada hakikatnya bukan ’tilpun langsung’, apakah istilah itu merupakan kiasan maupun istilah sebenarnya. Apakah istilah tersebut masuk dalam kajian Antropologi ataupun Sosiologi. Yang jadi kritik adalah bahwa siapa pun tidak boleh menentukan hari Idul Fitri secara sembarangan, hanya bermodalkan perasaan atau kebiasaan yang tidak didasari ilmu.

Kalau Mbah Benu tidak memahami ilmu Falak dan astronomi, melalui rukyatul hilal maupun hisab, jelas pendapat dan keputusan Mbah Benu tidak bisa dibenarkan. Adapun dalil atau hadis penentuan awal puasa dan idul Fitri dengan melihat hilal adalah sebagaimana sabda Rasulullah Saw., sebagai berikut:

إذَا رَأيْتُمُ الْهِلَا لَ فَصُوْمُوا وَإذَا رَأيْتُمُوه فَأفْطرُوا فإن غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوا ثَلا ثِيْنَ يَوْمًا

“Apabila kalian melihat hilal (bulan Ramadan) maka puasalah dan apabila kalian melihat hilal (bulal Syawal) maka berbukalah (lebaran), dan apabila tertutup awan (mendung) maka berpuasalah 30 hari.” (HR. Muslim)

Sementara umat Muslim yang meyakini dengan metode hisab didasarkan pada pemaknaan atas lafadz “faqdurulahu”, berikut bunyi hadisnya:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

“Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika melihatnya kembali maka berbukalah (berhari raya id), lalu jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya) maka perkirakanlah bulan tersebut. (HR. Bukhari)

Atas dalih apa pun, apakah merasa mendapatkan wahyu, tradisi, pengalaman spiritual apa pun, selama tidak didasarkan pada metode rukyatul hilal atau hisab, apalagi sampai metode pribadi yang digunakannya terbukti mengada-ada, maka sudah menjadi tugas kita untuk mengingatkan dan meluruskannya. Kalau kasus Mbah Benu dibiarkan liar beredar, niscaya akan bermunculan kasus-kasus serupanya lainnya. Misalnya zakat fitrah ditunaikan di bulan Syawal atau bulan lain di luar Ramadan. Syahadat diganti dengan Pancsila. Nah kasus seperti ini sudah pasti menyalahi aturan syariat Islam.

Para penyuluh agama di KUA setempat sudah semestinya melakukan silaturahim dan tabayun lebih lanjut untuk melakukan penyuluhan kepada Mbah Benu dan jamaah Masjid Aolia. Sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai sesama umat Muslim untuk saling mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Wallahu a’lam

Mamang Haerudin (Aa), Pesantren Tahfidz AlQur’an AlInsaaniyyah