Dampak Tindak Pidana Korupsi terhadap Perekonomian Negara

ASKARA – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan bahwa selama masa kepemimpinannya, fokus utamanya adalah penanganan perkara korupsi yang berkualitas, yaitu yang menyebabkan kerugian besar, dampak negatif bagi masyarakat, dan pelakunya adalah orang-orang berpengaruh serta berstatus terhormat, sehingga terhindar dari hukuman.

Selama kepemimpinannya, beberapa perkara besar korupsi telah berhasil ditangani, seperti Jiwasraya, ASABRI, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor garam, impor besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula, dan yang terbaru adalah PT Timah yang merugikan negara triliunan rupiah. Beberapa perkara tersebut sudah memperoleh putusan hukum tetap dan masih dalam proses penyidikan.

“Korupsi adalah kejahatan luar biasa, oleh karena itu memerlukan strategi khusus dalam pengungkapannya serta penggunaan pasal-pasal yang tepat untuk menjerat pelakunya,” kata Jaksa Agung dalam keterangannya, Jumat (12/4).

Dalam penanganan perkara korupsi, Kejaksaan telah memberlakukan pasal pencucian uang sebagai tindak pidana tambahan, menghitung hukuman pelaku dengan mengacu pada kerugian ekonomi negara, dan menuntut korporasi sebagai pelaku tindak pidana untuk mengembalikan kerugian negara.

“Semua langkah ini diambil demi pemulihan keuangan negara akibat korupsi yang bersifat serakah,” tambahnya.

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi menghilangkan frasa “dapat” dalam Undang-Undang pemberantasan korupsi, maka kerugian negara harus benar-benar terjadi (actual loss). Ini menimbulkan kontroversi, namun Jaksa Agung menegaskan bahwa perhitungan kerugian negara tidak sama dengan perekonomian negara.

Dalam kasus korupsi, pelaku tidak hanya individu tetapi juga korporasi dan konglomerasi, yang mengakibatkan dampak yang besar dan berkelanjutan. Perhitungan kerugian harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti pendapatan negara yang hilang, penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, dan stabilitas ekonomi.

Selain itu, kerugian perekonomian juga harus memperhitungkan aspek lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat setempat. Korupsi di sektor sumber daya alam juga harus memperhitungkan kerugian ekologis dan manfaat yang hilang akibat kerusakan lingkungan.

Jaksa Agung menekankan bahwa korupsi bukan hanya masalah suap atau pengadaan barang dan jasa, tetapi lebih pada kerugian negara dan perekonomian akibat proyek-proyek besar yang berdampak luas bagi masyarakat.

Dalam pencegahan korupsi, perlu ada kebijakan pengamanan dan pendampingan dari aparat penegak hukum, karena penanganan kasus korupsi tidak bisa lagi dilakukan secara konvensional.

Jaksa Agung menyatakan bahwa kejahatan korupsi melemahkan posisi negara secara internasional dan dapat menyebabkan ketidakstabilan negara secara massif. Oleh karena itu, perlu menjadikan pelaku korupsi sebagai musuh bersama untuk memerangi kejahatan ini.