Di wilayah Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) telah mulai beroperasi di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat. Anak-anak sekolah dan ibu hamil sudah terbiasa makan makanan sehat dengan gizi seimbang. Di balik layar terdapat Albertina Susana Momo, seorang ahli gizi lokal yang memastikan setiap hidangan yang disajikan memenuhi standar gizi nasional.
Menu yang ditawarkan tidak bergantung pada bahan impor. Sebaliknya, dapur MBG di Tambolaka dikenal luas karena menggunakan makanan lokal seperti jagung manis—yang menjadi favorit di kalangan anak-anak.
“Di sini, kami menggunakan bahan lokal seperti jagung. Jagung mengandung karbohidrat, serat, protein, kalsium, dan vitamin,” kata Albertina dalam wawancara pekan ini di dapur SPPG Tambolaka.
Menurutnya, anak-anak merespons positif terhadap makanan berbasis jagung. Rasanya manis dan cara penyajian yang unik—berbeda dari biasanya di rumah—menjadikannya lebih menarik. “Anak-anak sangat menyukainya karena jagungnya manis, tidak pahit. Di rumah, orang tua mereka jarang memasak sayuran dicampur dengan jagung. Jadi ketika kita variasikan menu di dapur, anak-anak benar-benar menikmatinya. Kami menggunakan jagung manis,” jelasnya.
Selain jagung, menu harian dapur MBG juga mencakup berbagai nutrisi: nasi sebagai karbohidrat utama, ayam, telur, dan ikan untuk protein hewani, tahu dan tempe untuk protein nabati, serta sayuran lokal seperti kacang panjang, wortel, dan buncis.
Pendekatan yang seimbang dan berbasis lokal ini tidak hanya memberi makan tapi juga mendidik. Albertina percaya pola makan yang telah ditetapkan melalui MBG dapat menjadi acuan bagi rumah tangga. “Harapannya, ini akan membantu orang tua untuk mengubah pola pikir mereka dan menyadari, ‘Oh, jadi begini makanan bergizi untuk anak saya harusnya seperti apa,'” katanya.
Dapur MBG di Tambolaka juga telah menciptakan peluang kerja dan melibatkan masyarakat yang lebih luas. Dari petani lokal hingga ibu rumah tangga, banyak yang kini turut serta dalam produksi dan distribusi makanan bergizi. Menurut Albertina, program ini tidak hanya membantu mengurangi stunting tetapi juga memberdayakan orang yang sebelumnya menganggur.
“Pesan saya adalah saya harap program ini dari Presiden terus berlanjut karena kita telah melihat begitu banyak dampak positif—ahli gizi seperti saya yang menganggur, akuntan yang menganggur, dan bahkan ibu-ibu yang kini memiliki pekerjaan di dapur,” tambahnya.
Dengan pendekatan komprehensif dari hulu ke hilir—dari petani ke dapur, dan dari dapur ke rumah tangga—program MBG di Tambolaka merupakan contoh nyata bagaimana kebijakan pangan dapat berjalan seiring dengan kesehatan masyarakat dan kesejahteraan komunitas.