Oleh: Khalisya Nadine Apriza *
ASKARA – “From nobody to somebody,” dari seseorang yang berasal dari keluarga biasa, Menteri Luar Negeri perempuan pertama Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi, berhasil meraih prestasi gemilang dan mengangkat martabat Indonesia melalui dedikasinya yang luar biasa selama menjabat. Dengan adanya berbagai permasalahan di dunia saat ini, kehadiran sosok luar biasa ini memberikan kontribusi dalam mengatasi dan menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapi.
Mengenal Ibu Retno Lebih Dekat
Retno Lestari Priansari Marsudi, S.I.P., LL.M. merupakan sosok yang berhasil meraih gelar sebagai “Menteri Luar Negeri Indonesia Pertama”. Sebelum menduduki posisi sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia (2014 – 2024), Retno telah memiliki pengalaman dalam berbagai profesi yang terkait dengan urusan internasional. Antara tahun 1997 dan 2001, beliau menjabat sebagai sekretaris di Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Selain itu, beliau juga mengepalai kedutaan sebagai duta besar untuk dua negara, yakni Norwegia (2005-2008) dan Belanda (2011-2015) dalam dua periode yang berbeda. Tidak hanya itu, selama terlibat dalam dunia internasional, Ibu Retno juga meraih sejumlah penghargaan prestisius, baik dari tingkat nasional maupun internasional.
Memahami Gaya Kepemimpinan Retno Marsudi
Melihat di dunia ini tidak hanya ada satu negara saja yaitu Indonesia, sebagai Menteri Luar Negeri tentunya harus selalu bekerjasama dan berkolaborasi dengan negara lain. Ketika Retno menjadi pembicara pada Seminar Nasional PPRA 64 Lemhanas RI, beliau mengatakan “Yang selalu kita injak adalah bahwa Indonesia mengedepankan paradigma kolaborasi, paradigma kerja sama”.
Dari perkataan itu, dapat disimpulkan bahwa salah satu gaya kepemimpinan yang dianut oleh Retno adalah collaborative leadership. Kepemimpinan kolaboratif adalah kondisi yang mana pemerintah untuk memenuhi tujuan public melalui kolaborasi antar organisasi maupun individu (Donahue & Zeckhauser). Kepemimpinan kolaboratif adalah upaya bersama sekelompok individu yang bekerja secara kolektif, berinteraksi dengan tujuan mencapai kesamaan, dan dapat menghasilkan hasil yang lebih bermanfaat melalui proses tersebut (Koppenjan). Sebagai kepala Kementerian Luar Negeri, Ibu Retno dihadapkan pada tanggung jawab untuk berkolaborasi dengan sejumlah negara.
Dalam peranannya, Ibu Retno harus menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan bahwa kebijakan dan langkah-langkah yang diambil tidak hanya mencerminkan kepentingan nasional, tetapi juga sejalan dengan tujuan bersama komunitas internasional.
Berikut salah satu contoh nyata kepemimpinan kolaboratif yang dilakukan oleh Menlu Retno Marsudi, yaitu pada tahun 2016-2017 terjadi kasus Rohingya yang memiliki dampak pada berbagai macam negara. Melihat hal tersebut, Pasca konflik Myanmar tahun 2016, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi aktif berkunjung ke Myanmar, mendorong dialog pasca kekerasan tahun 2017. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang dapat bernegosiasi dengan Myanmar. Retno Marsudi mengusulkan agenda 4-1 pada pertemuan tahun 2017, antara lain mengakhiri kekerasan, membuka akses kemanusiaan dan melaksanakan rekomendasi Kofi Annan. Retno fokus pada penyelesaian konflik, keamanan, dan bantuan kemanusiaan di wilayah yang terkena dampak.
Contoh tersebut tidak hanya mencerminkan gaya kepemimpinan yang kolaboratif, melainkan juga kemampuan Retno dalam menghadapi tantangan dengan menerapkan kepemimpinan krisis dan bencana. Meskipun kasus kasus tersebut terjadi di luar wilayah negaranya. Jika kita melihat dari perspektif kepemimpinan, krisis merupakan suatu kejadian yang oleh para pemimpin dan pemangku kepentingan dianggap sebagai situasi yang tidak terduga, memiliki tingkat penting yang tinggi, dan berpotensi mengakibatkan gangguan (Wu dkk, 2021). Krisis juga tidak dapat diprediksi dengan akurat lalu diberantas seluruhnya (Frese & Keith, 2015), sehingga diperlukan sosok pemimpin untuk mengambil alih.
Sebagai seorang Menteri Luar Negeri, tentunya akan terdapat banyak krisis yang harus dihadapi, baik dari dalam maupun luar negeri. “Crisis and leadership are closely intertwined phenomena. People experience crises as episodes of threat and uncertainty, a grave predicament requiring urgent action” (Rosenthal and Comfort, 2021). Meskipun terkadang krisis dan bencana tersebut tidak langsung berdampak pada Indonesia, Retno akan tetap berupaya untuk memberikan bantuan dalam penanganannya. Hal ini karena, tentu saja, kita juga akan menghargai bantuan saat kita mengalami bencana.
Ibu Retno tidak hanya terlibat dalam penanganan krisis di Rohingya satu kali saja, tetapi beberapa kali dan bahkan pada tanggal 13 Desember kemarin, beliau ikut serta dalam “Global Refugee Forum”, yang diselenggarakan di Kantor PBB di Jenewa, Swiss. Di dalam forum tersebut, beliau mengatakan “Saya mengajak masyarakat internasional bekerja sama menghentikan konflik dan memulihkan demokrasi di Myanmar, sehingga pengungsi Rohingya dapat kembali ke rumah mereka, yaitu di Myanmar”. Beliau mengatakan hal ini sebab kekerasan yang terus menerus terjadi di Myanmar dianggap sudah parah dan berdampak langsung ke Indonesia.
Ia juga menyoroti untuk meningkatkan kerja sama dengan berbagai lembaga PBB ternama seperti UNHCR, UNODC, dan IOM dalam menangani isu Rohingya ini. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, Ibu Retno menerapkan dua gaya kepemimpinan yaitu kolaboratif dengan menjalin kerjasama dengan pihak lain seperti lembaga dan kementerian lainnya serta kepemimpinan krisis dan bencana dengan ikut serta dalam menangani berbagai kasus yang ada di dunia.
Sosok Menlu Indonesia yang Inspiratif
Melalui tekad yang kuat dan keberanian yang luar biasa, Ibu Retno berhasil mencapai puncak karier sebagai Menteri Luar Negeri, menjadi perempuan pertama yang mendapat posisi tersebut di Indonesia. Selama menjabat, Ia terus menjadi sosok yang inspiratif. Kepeduliannya terhadap isu isu yang ada membuatnya patut untuk dijadikan role model. Dengan menerapkan gaya kepemimpinan collaborative dan sigap dalam mengatasi krisis serta bencana, Ibu Retno telah menunjukkan dedikasi luar biasa terhadap tugasnya, menjadikannya teladan bagi generasi selanjutnya.
* Mahasiswa jurusan Ilmu Administrasi Negara, Universitas Indonesia