Oleh: Emrus Sihombing *)
ASKARA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dimaknai intervensi proses penegakan hukum di tanah air. Untuk itu, para pihak yang terkait harus membuka terang benderarang pengakuan
Agus Rahardjo, mantan ketua KPK itu.
Agus Rahardjo diminta Jokowi hentikan kasus e-KTP mencuat ke ruang publik sehingga telah menjadi agenda media dan agenda publik yang sangat luar bisa akhir pekan ini. Publik tercengang dan seakan bertanya, kok bisa begitu ya? Apa itu sebuah kebenaran?
Ungkapan Agus Rahardjo tersebut sangat penting dan mendasar, tidak boleh dianggap remeh-temeh dalam proses penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia.
Sebab, sistem demokrasi di negara kita, Presiden mutlak dilarang oleh konstitusi cawe-cawe mengintervensi proses berjalannya penegakan hukum di Indonesia.
Karena itu, dari aspek komunikasi publik, pernyataan Agus Rahardjo tersebut mutlak harus dibuka secara terang benderang, sehingga tidak ada “drakor” di antara sesama anak bangsa.
Ungkapan Agus Rahardjo tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja, lalu menguap hilang ditelan waktu. Sebab, pernyataan Agus Rahardjo itu sangat dapat bermakna Presiden Jokowi mengintervensi penanganan kasus hukum di Indonesia.
Selain itu, lebih luas lagi bisa saja semakin menyakinkan publik tentang dugaan keputusan MK terkait usia minimal capres/cawapres sebagai produk gagal yang tidak lepas dari intervensi dan relasi kukuasaan.
Untuk itu, pernyataan Agus Rahardjo tersebut, ada dua hal yang harus dilakukan para pihak terkait agar seluruh rakyat Indonesia mengetahui secara terang benderang tentang kasus yang diungkap ke publik oleh Agus Rahardjo. Rakyat berhak tahu.
Pertama, Jokowi dan Agus Rahardjo harus melakukan klarifikasi live di Program Rosi, Kompas TV dengan dimoderatori oleh Rosianna Silalahi, sehingga dugaan upaya penghentian kasus E-KTP tersebut menjadi terbuka terang benderang. Klarifikasi ini tak baik diwakilkan.
Kedua, Agus Rahardjo mutlak harus membuktikan ungkapan/dalilnya tersebut. Agar pengungkapan dilakukan dengan formal, maka para pihak yang dirugikan, terutama boleh jadi Jokowi pada posisi merasa dirugikan, seharusnya ia melaporkan Agus Rahardjo ke aparat penegakan hukum.
Sebab, pernyataan Agus Rahardjo tersebut dapat dikategorikan sebagai tuduhan yang serius. Jika benar apa yang dilontarkan oleh
Agus Rahardjo, reputasi Presiden Jokowi akan tergerus merosot di tengah masyarakat.
Atau boleh jadi dilakukan dengan dua hal. Pertama, mengangkat sebuah isu yang setara atau lebih seksi untuk menutupi persoalan yang diungkap oleh Agus Rahardjo. Tindakan ini biasanya dilakukan olah para pecundang sebagai tirai penutup dari lontaran pesan yang disampaikan.
Kedua, dengan upaya “akal-akalan” metodologi, lembaga survey sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pemilik dan relasi kuasa bisa saja melakukan penelitian bahwa responden tetap puas dengan kinerja pemegang kekuasaan dan elektabilitas paslon yang didukung kekuasaan tertentu tetap terjaga, sekalipun itu kontra logika.
*) Penulis adalah Komunikolog Indonesia dan Dosen Pasca Sarjana Fikom UPH
Editor: Husnie